Apa itu Mawani’ul Irtsi?
Arti kata mawani’ul irtsi adalah penghalang mewarisi, menurut drs fatchur rahman di dalam bukunya Ilmu waris pengertian mawani’ul irtsi adalah tindakan atau hal-hal yang dapat mengugurkan hak seseorang untuk mempusakai beserta adanya sebab-sebab dan syarat-syarat mempusakai.
Terdapat 3 macam mawani’ul irtsi atau penghalang mewarisi, yakni
- Perbudakan
- Pembunuhan
- Berlainan agama
Penjelasannya sebagai berikut
Pertama Perbudakan
Perbudakan menjadi penghalang bagi seseorang untuk mewarisi dari orang lain. Para ulama’ ahli fiqh berpendapat seorang budak tidak bisa mewarisi dari orang lain dan tidak dapat mewariskan harta peninggalannya. Hal ini sesuai dengan yang tertulis di dalam al qur’an surat an Nahl ayat 75 sebagai berikut
ضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا عَبۡدًا مَّمۡلُوۡكًا لَّا يَقۡدِرُ عَلٰى شَىۡءٍ وَّمَنۡ رَّزَقۡنٰهُ مِنَّا رِزۡقًا حَسَنًا فَهُوَ يُنۡفِقُ مِنۡهُ سِرًّا وَّجَهۡرًاؕ هَلۡ يَسۡتَوٗنَؕ اَ لۡحَمۡدُ لِلّٰهِؕ بَلۡ اَكۡثَرُهُمۡ لَا يَعۡلَمُوۡنَ
Artinya : “Allah membuat perumpamaan seorang hamba sahaya di bawah kekuasaan orang lain, yang tidak berdaya berbuat sesuatu, dan seorang yang Kami beri rezeki yang baik, lalu dia menginfakkan sebagian rezeki itu secara sembunyi-sembunyi dan secara terang-terangan. Samakah mereka itu? Segala puji hanya bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.”
Sebagaimana tertulis di dalam hikmatut-tasyri’ juz II halaman 411 yang menjelaskan bahwa budak itu tidak dapat mewarisi harta peninggalan tuannya apabila tuannya meninggal dunia, disebabbkan budak itu sendiri berstatus sebagai harta milik tuannya. Oleh karena itu, tidak boleh jadi, seorang budak yang fungsinya sebagai harta milik tuannya mewarisi harta milik tuannya, yang dalam hal ini termasuk dirinya sendiri.
Kedua Pembunuhan
Semua ulama’ fiqh sepakat, bahwa pembunuhan adalah penghalang bagi orang yang membunuh untuk mewarisi harta peninggalan orang yang telah dibunuh. Adapun dasar hadisnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh ibnu Abbas rodhiyallahu ‘anhu dan perowinya adalah imam Ahmad yang berbunyi
مَنْ قَتَلَ قَتِيْلًا فَاِنَّهُ لَايَرِثُهُ وَاِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَارِثٌ غَيْرُهُ وَاِنْ كَانَ لَهُ وَالِدُهُ اَوْوَلَدُهُ فَلَيْسَ لِقَاتِلٍ مِيْرَاثٌ (رواه أحمد
“Barangsiapa yang membunuh seseorang korban, maka ia tidak dapat mempusakainya, walaupun si korban tidak mempunyai pewaris selainnya dan jika si korban itu bapaknya atau anaknya, maka bagi pembunuh tidak berhak menerima harta peninggalan.” (Rw. Imam Ahmad)
Ketiga Berlainan Agama
Pengertian berlainan agama adalah berlainan agama yang menjadi kepercayaan antara orang yang mewarisi dengan orang yang mewariskan, misalnya agama orang yang bakal mewarisi bukan islam, baik itu nasrani ataupun yahudi, sedangkan orang tuanya beragama islam, maka orang yang beragama nasrani ataupun yahudi tersebut tidak berhak untuk mewarisi orang tuanya yang beragama islam tersebut.
Adapun dasar hukum Pertama berlainan agama sebagai mawani’ul irtsi atau penghalang mewarisi adalah hadits rosulullah SAW yang berbunyi
لَايَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلَا الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ (متّفق عليه
Artinya “Orang Islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir dan orang kafir tidak dapat mewarisi harta orang islam.” (Rw. Bukhori Muslim)
Sebagaimana terjadi pada masa hidup nabi Muhammad SAW yang menceritakan tentang kehidupan ketika Abu Thalib wafat, ia meninggalkan 4 orang anak laki-laki, yaitu : Ali, Ja’far, Uqail dan Tholib. Ali dan Ja’far keduanya beragama islam sedang ‘Uqail dan Thalib keduanya orang kafir. Rosulullah SAW membagikan harta warisan abu thalib kepada ‘Uqail dan Thalib karena mereka masih dalam kekafiran sebagaimana abu thalib, namun beliau tidak membagikan harta warisan kepada Ali dan Ja’far karena keduanya sudah masuk ke dalam agama islam.
Dasar hukum yang kedua adalah logika, sebagaimana analisa berikut: Kegiatan waris mewarisi merupakan alat penghubung untuk mempertemukan ahli waris dengan orang yang mewariskan disebabkan adanya kekuasaan perwalian dan adanya jalinan rasa tolong menolong di antara keduanya. Oleh karena keduanya terdapat perbedaan-perbedaan dalam hak kebendaan, seperti hak memilikinya dan menguasainya sebagaimana di atur di dalam agamanya masing-masing, maka kekuasaan perwalian diantara mereka menurut hukum tidak ada lagi.