Di dalam kitab alfiyah ibnu malik, terdapat nadhoman yang menjelaskan tentang bacaan hamzahnya inna apabila sebagai masdar, sebagai berikut wa hamza innaftah lisaddi masdariin masaddaha wa fi siwaa dzaka aksiri faksir fil ibtidaa wa fi bad I shilatin wa haesu inna liyamiinin mukmilatin
وَهَمْزَ اِنَّ افْتَحْ لِسَدِّ مَصْدَرِ مَسَدَّهَا وَفِى سِوَى ذَاكَ اَكْسِرِ
Artinya : Bacalah fathah pada hamzahnya inna jika tempatnya inna bisa ditempati masdar, dan bacalah kasroh pada hamzahnya inna pada selainnya yang bisa ditempati masdar.
فَاكْسِرْ فِى الْاِبْتِدَا وَفِى بَدْءِ صِلَةٍ وَحَيْثُ اِنَّ لِيَمِيْنٍ مُكْمِلَةٌ
Artinya : Bacalah kasroh pada hamzahnya inna pada permulaan kalam, pada permulaan shilah, inna yang menyempurnakan (menjadi jawab) dari sumpah.
Penjelasan Menurut Ustadz Hamdani As Sidani (wa hamza innaftah,,,,) mulai dari bait ini menerangkan perbedaan bacaan hamzahnya in dan anna, bilamana hamzahnya ini dibaca kasroh atau fathah atau dua-duanya diperbolehkan. Maka bait ini menerangkan, bila inna bersama ma’mul duanya umpama diganti dengan masdar kok bisa,maka hamzahnya harus dibaca fathah, yaitu apabila inna dan ma’mulnya dibaca fa’il, contoh يُعْجِبُنِى اَنَّكَ قَائمٌ، atau naibul fail contoh قُلْ اُوْحِيَ اِلَيْكَ نَفَرٌ مِنَ الجِنِّ, atau maf’ul bih contoh : وَلَاتَخَافُوْنَ اَنّكُمْ اَشْرَكْتُمْ, atau mubtada contoh : وَمِنْ اَيَتِهِ اَنّكَ تَرَى الْأَرْضَ خَاشِعَةً , atau dijarkan dengan huruf jar وَذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الحَقَّ, atau dengan mudhof yang bukan lafadz laisu an idz, contoh : مِثْلَ مَا اَنَّكُمْ تَنْطِقُوْنَ , apabila mudhof itu berupa haesu atau idz maka hamzahnya harus dibaca kasroh. J
Cara mengganti (ta’wil) masdar adalah mengambil masdar dari khobarnya anna lalu dimudhofkan kepada isimnya anna, contoh : يُعْجِبُنِى اَنَّكَ قَائِمٌ اي يُعْجِبُنِى قِيَامُكَ emikian ini bila khobarnya musytaq, Apabila khobarnya berupa lafadz yang jami’ atau dhorof, maka harus memakai lafadz kaunun, yang dimudhofkan kepada isimnya. Contoh : ظَنَنْتُ اَنَّ زَيْدًا اَسَدٌ اى كَوْنَ زَيْدٍ اَسَدًا , dan contoh : يَعْجِبُنِى اَنَّ زَيْدًا فَوْقَ عَمْرٍ اى كَوْنَ زَيْدٍ فَوْقَ عَمْرٍ apabila inna dan ma’mulnya tidak bisa dita’wil masdar, maka hamzahnya harus dibaca kasroh.
Penjelasan Nadhoman Kedua (Faksir fil ibtida’,,, ) bila inna terletak dipermulaan kalam baik secara hakikat, contoh : اِنَّ فَتَحْنَالَكَ فَتْحًا مُبِيْنًا atau secara hukman, contoh : اَلَااِنَّ اَوْلِيَاءَاللّهِ لَاخَوْفٌ عَلَيْهِمْ, atau di permulaan shilah nahwu, اَخَافُ الَّذِى اِنّهُ شَدِيْدُ الْعِقَابِ atau menjadi jawabnya yamiin qosam, yaitu وَالْعَصْرِ اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِى خُسْرٍ, maka hamzahnya inna harus dibaca kasroh.
Contoh : اَلَا اِنَّ اَوْلِيَاءُ اللّهِ لَاخَوْفٌ عَلَيْهِمْ , lafadz inna di anggap ibtida’ul kalam hukman, sebab lafadz ala berfaedah tanbih, kepada mukhotob, maka yang dimaksud mutakallim adalah lafadz inna auliyaa allahi, bukan lafadz ala karena itu inna disebut menjai permulaan kalam hukman.