Di dalam kitab alfiyah ibnu malik, terdapat nadhoman yang menjelaskan tentang wajibnya membuang khobar setelah huruf wawu. sebagaimana nadhoman berikut Wa ba’da wawain ‘ayyanats mafhuma ma kamitsli kullu shoni’in wa ma shon’a wa qobla halin la yakunu khobaro ‘anil ladzi khobarohu qod udhmiro kadhorbiyal ‘abda musinan wa atammu tabyiyniyal khaqqo manuwthon bil hikami wa akhbaru bi itsnaini au biaktsaro ‘an wakhidin kahum saratun syu’aro
وَبَعْدَ وَاوٍ عَيَّنَتْ مَفْهُومَ معْ كَمِثْلِ كُلُّ صَانِعٍ وَمَاصَنَعَ
Artinya : wajib membuang khobar juga terjadi setelahnya huruf wawu yang ditetapkan pada makna bersamaan, seperti lafadz كُلُّ صَانِعٍ وَمَاصَنَعَ
وَقَبْلَ حَالٍ لَايَكُونُ خَبَرَا عَنِ الَّذِى خَبَرَهُ قَدْ اُضْمِرَا
Artinya : dan wajib membuang khobar yang terletak sebelumnya hal yang tidak pantas dijadikan mubtada’ yang khobarnya tersimpan
كَضَرْبِىَ الْعَبْدَ مُسِيْئًا وَاَتَمُّ تَبْيِينِىَ الْحَقَّ مَنُوطًا بِالْحِكَمِ
Artinya :.seperti lafadz ضَرْبِىَ الْعَبْدَ مُسِيْئًا, dan lafadz وَاَتَمُّ تَبْيِينِىَ الْحَقَّ مَنُوطًا بِالْحِكَمِ (paling sempurna penjelasanku pada perkara haq itu apabila berhubungan dengan sesuatu yang berfaidah)
وَاَخْبَرُوا بِإِثْنَيْنِ اَوْبِأَكْثَرَا عَنْ وَاحِدٍ كَهُمْ سَرَاةٌ شُعَرَا
Artinya : Buatlah dua khobar atau lebih dari satu mubtada’ seperti lafadz هُمْ سَرَاةٌ شُعَرَا, (mereka adalah orang-orang mulia yang ahli syair)
Penjelasan menurut Ustadz Hamdani As Sidani (wa ba’da wawin dan seterusnya…) sebagai berikut khobar yang terletak setelah wawu ‘athof yang bermakna ma’a (maknanya bersamaan) harus dibuang, contoh كُلُّ صَانِعٍ وَمَا صَنْعَهُ . lafadz kullu shoni’in menjadi mubtada’, khobarnya nya dibuang. Taqdirnya, كُلُّ صَانِعٍ وَمَا صَنْعَهُ مُقْتَرِنَان , wawu ‘athof yang bermakna ma’a, adalah wawu yang mengathofkan kepada lafadz yang maknanya dipakai oleh ma’thuf ‘alaihninya. Seperti contoh di atas. Bahwa perbuatan itu bersama dengan orang yang berbuat. Maka khobar berupa lafadz muqtarinan harus dibuang. Sebab sudah diganti dengan wawu bimakna ma’a. umpama wawu itu diganti dengan lafadz ma’a, lalu diganti dengan lafadz ma’a, lalu dibaca كُلُّ صَانِعٍ مَعَ مَا صَنعَ, maka ma’a itu yang menjadi khobar. Dan umpama wawu itu tidak bermakna ma’a, bahkan mengathofkan saja. التشريك فى الحكم , maka khobar itu tidak boleh dibuang. Contoh : زَيْدٌ وَ عَمْرُو مُتبَاعدَانِ .
Nadhoman kedua dan ketiga (wa qobla halin dan kadhorbiyal ‘abda muniban …) sebagai berikut adalagi khobar mubtada’ yang harus dibuang, yaitu bila khobar terletak sebelum khal yang umpama khal itu dijadikan khobar bagi mubtada’ itu tidak boleh. Sebab tidak cocok murodnya. Demikian ini terdapat apabila
1. Mubtada’ berupa masdar yang beramal kepada isim yang menjadi shohibul hal, contoh : ضَرَبِيَ الْعَبْدَ مُسِيْعًا , taqdirnya ضَرَبِيَ الْعَبْدَ مَوْجُود اِذَا كَانَ مُسيْعًا .umpama lafadz musii’an dijadikan khobar mubtada’ , maka murodnya terbalik, lafadz kana yang muqoddar itu dilakukan tama.
2. Mubtada’ berupa isim tafdhil, yang mudhof kepada masdar yang beramal kepada isim yang menjadi shohibul hal, اَتَمُّ تَبْيِينِيَ الحَقَّ مَنُوطًا بِالْحِكَمِ taqdrinya اَتَمُّ تَبْيِينِيَ الحَقَّ مَوْجُودٌ اِذَا كَانَ مَنُوطًا بِالْحِكَم , umpama lafadz manuthon langsung dibuat khobar mubtada’, maka juga terbalik maknanya. Lafad al ‘abda dan al haq menjadi shohibul hal, adapun hal tersebut ada yang mufrod seperti contoh di atas. Dan ada yang berupa jumlah. Contoh اَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ , اَىْ اَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ حَاصِلٌ وَهُوَ سَاجِدٌ
Naddhoman ke empat (wa akhbaru bi itsnaini dan seterusnya…) diperbolehkan mubtada’ satu mempunyai khobar dua atau lebih banyak, contoh : هُمْ سَرَاةٌ شُعَرَاءُ , sebab khobar itu adalah hukum. Maka boleh barang satu itu diberi hukum dua atau lebih, contoh : و َهُوَ الْغَفُورُ الْوَدُوْدُ ذُوالْعَرْشِ الْمَجِيْد .