Di dalam kitab alfiyah ibnu malik, terdapat nadhoman yang menjelaskan tentang fi’il naqish dan bolehnya ma’mul khobar berdampingan dengan amilnya khobar. sebagai berikut wa ma siwahu naqishun wan naqshu fi fati a laisa zala daiman qufiy wa la yalil ‘amilu ma’mulu khobari illa idza dhorfan ata au harfa jarring wa mudhmaro sysyaani isman wi inwaqo’ muhimu mastabaana annahum tana’
وَمَا سِوَاهُ نَاقِصٌ وَالنَّقْصُ فِى فَتِئَ لَيْسَ زَالَ دَائِمًا قُفِىْ
Artinya :Fi’il Naqish, yaitu selainnya fi’il Tam, fi’il naqish terdapat dalam lafadz فَتِئَ, لَيْسَ, زَالَ.
وَلَايَلِى الْعَامِلُ مَعْمُولُ الْخَبَرِ اِلَّااِذَا ظَرْفًا اَتَى اَوْحَرْفَ جَرٍّ
Artinya : Lafadz yang diamali khobar (ma’mulul khobar) itu tidak boleh berdampingan dengan amilnya khobar (kana wa akhowatuha) kecuali jika berupa dhorof atau jar majrur
ومُضْمَرَ الشَّانِ اسمَا انْوِ اِنْوَقَعْ مُوْهِمُ مَااسْتَبَانَ اَنَّهُ امْتَنَعْ
Artinya :.Kira-kirakanlah dhomir sya an dengan menjadi isimnya (kana wa akhowatuha) jika terjadi degan tarkib yang jelas tercegahnya (yaitu berdampingan ma’mulnya khobar dengan kana wa akhowatuha)
Penjelasan menurut Ustadz Hamdani As Sidani (Wa Ma Siwahu Naqisun…) selain ‘amil yang tama disebut amil naqis yaitu amil yang beramal seumpama menashobkan khobar. Adapun fati a, laisa dan zala, selamanya dilakukan naqis tidak ada yang tama
Nadhoman kedua (Wa la yalil ‘amila…) Ma’mul khobar atau isim yang diamalkan oleh khobarnya kana wa akhowatuha. Itu tidak boleh mendekati ‘amil (kana wa akhowatuha), .maka contoh (كَانَ زَيْدٌ اَكِلًا طَعَامَكَ ) tidak boleh dibaca كَانَ طَعَامَكَ زَيْدٌ اَكِلًا . atau كَانَ طَعَامَكَ اَكِلًا زَيْدٌ. Lafadz tho’amaka menjadi ma’mul khobarnya kana. Kecuali apabila ma’mul itu berupa dhorof atau jer majrur. Maka diperbolehkan lafadz كَانَ فِى الدَارِ زَيْدٌ جَالِسًا . كَانَ عِنْدَكَ زَيْدٌ جَالِسًا. Sebab tiap-tiap ‘amil itu mengandung makna hadats, sedangkan hadats itu butuh kepada zaman dan makan. Dhorof itu ada yang dhorof makan da nada yang dhorof zaman. Maka maknanya dhorof selalu dipakai oleh ‘Amil, karena itu dhorof boleh mendekat kepada ‘amil. Demikian juga jer majrur, sebab dhorof itu menyimpan maknanya huruf jer, yaitu “فِى”.
Naddhoman ke tiga (Wa mudhmaris tsani isma…) Apabila terdapat di kalam ‘Arob anggapan yang jelas tidak diperbolehkan, yaitu ma’mul khobar mendekat kepada ‘Amil, Maka harus mengirakan dhomir Sya’n, sebagai isimnya ‘Amil seperti kata syair,
قَنَافِيذُهَدَّا جُوْنَ حَوْلَ بُيُوْتِهِمْ بِمَا كَانَ اِيَّاهمْ عَطِيَّةُ عَوَّدَا
Artinya “Kaumnya jarir itu seperti landak-landak yang berjalan di malam hari di sekitar rumah-rumah mereka. hal itu disebabkan oleh ayah Jarir yang bernama Athiyyah yang membiasakan pada mereka.”
Lafadz ‘Athiyyah (عَطِيَّة ) menjadi mubtada’, lafadz ‘awwada (عَوَّدَا) menjadi khobarnya jumlah ‘athiyya, awwada menjadi khobarnya kana, lafadz iyyahum (اِيَّاهمْ) menjadi ma’mulnya ‘awwada, yang mendekati ‘amil Kana maka isimnya kana adalah dhomir Sya’n