Di dalam kitab alfiyah ibnu malik, terdapat nadhoman yang menjelaskan tentang bolehnya membuang mubtada’ dan khobar yang sudah ma’lum. sebagaimana nadhoman berikut wa khadzfu ma yu’lamu jaizun kama taqulu zaidun ba’da man ‘inda kuma wa fi jawabin kaifa zaidun qul danifun fazaidunis taghni ‘anhu idz ‘urif wa ba’da laula gholiban khadzful khobari khatmun wa fi nashshi yaminin dzastaqorro
وَ حَذْفُ مَا يُعْلَمُ جَائِزٌ كَمَا تَقُولُ زَيْدٌ بَعْدَ مَنْ عِنْدَ كُمَا
Artinya : membuang mubtada’ atau khobar yang sudah ma’lum itu hukumnya jawaz (diperbolehkan) seperti kamu mengucapkan lafadz .. setelah pernyataan مَنْ عِنْدَ كُمَا (siapa disamping kalian berdua?) .
وَفِى جَوَابٍ كَيفَ زَيْدٌ قُلْ دَنِفٌ فَزَيدٌ اسْتَغْنِى عَنْهُ اِذعُرِف
Artinya : dan didalam menjawab pertanyaan كَيفَ زَيْدٌ (bagaimana keadaan Zaid?) kamu menjawab دَنِفٌ (orang yang merana) lafadz zaid dicukupkan tidak disebutkan karena sudah diketahui.
وَبَعْدَ لَوْلَا غَالِبًا حذْفُ الْخَبَرِ حَتْمٌ وَفِى نَصِّ يَمِينٍ ذَا اسْتَقَرَّ
Artinya : Setelahnya لَوْلَا pada umumnya pembuangan khobar maka hukumnya wajib ini, dan pembuangannya khobar secara wajib imi ditetapkan dalam lafadz sumpah.
Penjelasan menurut Ustadz Hamdani As Sidani (wa khadzfu ma yu’lamu dan wa fi jawabin kaifa zaidun seterusnya…) sebagai berikut mubtada’ atau khobar yang sudah jelas dimaklumi mukhotob, bagi mutakallim boleh tidak menggunakan huruf ya’. Contoh tidak membuat khobar. Bila ada orang bertanya kepada mu مَنْ عِندَ كُمَا , lafadz man menjadi mubtada’, lafadz ‘inda kama menjadi khobar, mestinya dijawab dengan lafadz zaidun ‘indana. Tetapi kamu menjawab dengan zaidun saja. Ini diperbolehkan. Sebab khobarnya sudah ma’lum. Contoh tidak membuat mubtada’ كَيْفَ زَيْدٌ, lafadz kaifa menjadi khobar yang didahulukan. Lafadz zaidun menjadi mubtada’ yang diakhirkan. Lalu kamu menjawab, dengan lafadz danifun saja tanpa dengan lafadz zaidun. Ini juga diperbolehkan, sebab mubtada’nya zaidun sudah ma’lum
Nadhoman ketiga (wa ba’da laula gholiban dan seterusnya …) sebagai berikut bila ada mubtada’ yang terletak setelah lafadz laula imtina’iyyah gholibiyyah, maka khobar harus dibuang, karena sudah ma’lum.
Lafadz laula ada dua bagian, 1. لَوْلَا اِمْتِنَا عِيَّةِ غَالِبِيَّة (2.) لَوْلَا اِمْتِنَا عِيَّةِ غَيْرَ غَالِبِيَّة . laula imtina’iyyah gholibiyyah adalah laula yang menunjukkan tidak wujudnya jawab karena wujudnya mubtada’, contoh لَوْلَا زَيدٌ اَضْحَكْتُ artinya umpama zaid tidak ada maka saya tertawa. Artinya tidak jadi saya tertawa (jawab) karena ada zaid (mubtada’). Lafadz zaidun menjadi mubtada’, khobarnya dibuang, yaitu lafadz maujud. Sebab sudah ma’lum.
لَوْلَا اِمْتِنَا عِيَّةِ غَيْرَ غَالِبِيَّة adalah laula yang menunjukkan tidak terjadinya jawab karena wujudnya sifat bagi mubtada’, contoh لَوْلَا زَيدٌ بَاكٍ اَضْحَكْتُ (umpama zaid tidak menangis maka saya tertawa). Lafadz zaidun menjadi mubtada’. Khobarnya بَاكٍ tidak boleh dibuang.
Mubtada’ yang berupa lafadz yang khusus dilalui sumpah khobarnya juga harus dibuang. لَعَمْرُكَ لَأَ فْعَلَنَّ كَذَا . lafadz la’amruka menjadi mubtada berupa nashshu yamin, khobarnya adalah lafadz qosamiy yang dibuang. لَعَمْرُكَ قَسَمِى لَأَ فْعَلَنَّ كَذَا .