Di dalam kitab alfiyah ibnu malik, terdapat nadhoman yang menjelaskan tentang Isim Maushul yang harus menggunakan shilah (kata hubung) dengan dhomir yang kembali kepadanya. sebagaimana nadhoman berikut Wa kulluha yalzamu ba’dahu shilah ‘ala dhomiirin laaiqin musytamilah wa jumlatun au shibhuhalladzi wushil bihi Kaman ‘indilladzibnuhu kufil
وَكُلُّهَا يَلْزَمُ بَعْدَهُ صِلَةْ عَلَى ضَمِيْرٍ لَائِقٍ مُشْتَمِلَة
Artinya ; Adapun semua isim maushūl (dan ḥarf maushūl) sesudahnya itu harus memakai shillah (penghubung) dengan dhamīr yang kembali kepadanya (yang disebut: marji‘ dhamīr) yang seimbang.
وَجُمْلَةٌ اَوشِبْهُمَا الَّذِى وُصِلَ بِهِ كَمَنْ عِنْدِى الَّذِى ابْنُهُ كُفِلْ
Artinya : Apapun yang dipakai shillah maushūl itu adakalanya terdiri dari kalimat ismiyyah (kalimat nominal) atau fi’illiyah (Kalimat verbal)atau syibih jumlah (yaitu zharaf atau jarr-majrūr), seperti: (مَنْ عِنْدِي الَّذِيْ ابْنُهُ كُفِلَ) = Siapa yang berada dekat saya yang anaknya itu diangkat?”.
Penjelasan menurut Ustadz Hamdani As Sidani sebagai berikut : setelah isim maushul harus ada shilah, lafadz yang mema’rifatkan isim maushul, yang shilah itu mengandung dhomir yang cocok, juga kepada isim maushul, yakni bila isim maushul itu dilalui mufrod, maka dhomir itu juga dilalui mufrod, demikian juga bila isim maushul itu dilalui tasniyah atau jamak, mudzakkar atau mu’annats, contoh : جَاءَ الَّذى قَامَ اَبُوْهُ artinya Telah datang ayahnya (laki-laki) yang sedang berdiri. جَاءَ الَّتِى قَامَ اَبُوْهَا artinya telah datang ayahnya (wanita) yang sedang berdiri. جَاءَ الَّذِيْنَ قَامَ اَبُوْهُمْ artinya telah datang ayah mereka laki-laki yang sedang berdiri, جَاءَ اللَّذَانِ قَامَ اَبُوْهُمَا artinya telah datang ayah mereka wanita yang sedang berdiri.
(Penjelasan Nadhoman yang kedua wa jumlatun dan seterusnya..) lafadz yang bisa dibuat shilah adalah jumlah atau syibh jumlah (dhorof dan jar majrur), contoh : مَنْ عِنْدِى الَّذِى ابْنَهُ كُفِلْ, lafadz ‘indi adalah dhorof menjadi shilahnya lafadz man, lafadz ابْنَهُ كُفِلْ adalah jumlah mubtada’ khobar menjadi shilahnya lafadz الَّذِى. Jumlah yang menjadi shilah harus berupa jumlah khobariyah yang tidak bermakna ta’ajjub, dan yang bisa menentukan kepada isim maushul, contoh جَاءَ الَّذى قَامَ اَبُوْهُ, maka tidak boleh جَاءَ الَّذِى اِضْرِبْهُ sebab lafadz اِضْرِبْهُ bukan jumlah khobariyah, dan lafadz جَاءَ الَّذِى مَا اَحَسَنَه, sebab fi’il ta’ajub itu tidak dapat menentukan kepada isim maushul, dan lafadz جَاءَ الَّذِى حَاجِيَاهُ فَوْق عَيْنَيْهِ sebab tidak dapat di ta’yin,karena semua manusia pasti alisnya di atas kedua mata.
Dhorof dan jar majrur yang menjadi shilah harus yang تامَّانِ (yang sempurna) yaitu dhorof dan majrurnya apabila di ta’alluqkan dengan muta’allaq yang ‘am, sudah dapat difahami maknanya. Contoh جَاءَ الَّذِى عِنْدَكَ (Telah datang yang berada di sisi kamu). جَاءَ الَّذِى فِى الدَّرِ , berbeda dengan lafadz جَاءَ الَّذِى البَيْتَ, جَاءَ الَّذِى بِكَ