Di dalam kitab alfiyah ibnu malik, terdapat nadhoman yang menjelaskan tentang dhomir munfashil di dalam kedaan ihtiyar. sebagaimana berikut wa fikhtiyaarin la yajiul munfashil idza ta atta an yajia muttashil.
وَفِى اخْتِيَارٍ لَايَجِئُ الْمُنْفَصِلْ اِذَا تَأَتَّى أَنْ يَجِئَ الْمُتَّصِلْ
Artinya : Dan di dalam keadaan ikhtiyar tidak boleh mendatangkan dhomir munfashil, selama masih bisa mendatangkan dhomir muttashil.
Penjelasan Menurut Ustadz Hamdani As Sidani sebagai berikut :
Di dalam suatu anggapan yang masih bisa memakai dhomir muttashil, tidak boleh memakai dhomir munfashil, sebab tujuan untuk mencetak dhomir itu untuk meringkas perkataan, sedangkan dhomir muttashil itu lebih ringkas daripada dhomir munfashil, kecuali karena darurat syair, seperti syairnya farozdaq.
بِالْبَاعِثِ الْوَارِثِ الْاَمْوَاتِ قَدْضَمِنَتْ اِيَّاهُمُ الْاَرْضُ فِى دَهْرِ الدَّهَارِيْرِ
Artinya : “Demi dzat yang membangkitkan dan menghidupkan orang yang tahu mati, yang mewarisi orang-orang yang mati, yang mereka telah terkubur di dalam bumi dalam waktu yang lama. (Farozdaq)
Lafadz iyyahum (اِيَّاهُمُ) adalah dhomir munfashil, seandaikan dibuat dhomir muttashil (هُمْ) maka wazan syair ini tidak cocok, karena itu diperbolehkan memakai dhomir munfashil.