Di dalam kitab alfiyah ibnu malik, terdapat nadhoman yang menjelaskan tentang Allaati dan dzawaatu untuk isim maushul ma dan man istifham. sebagaimana nadhoman berikut Wa kallati aidhon ladaihim dzaatu wa maudhi’al latii ata dzawaatu wa mislu maadzaa ba’da mastifhaamin au man idza lam tulgho fil kalaami
وَكَالَّتِى اَيْضًالَدَيْهمْ ذَاتُ وَمَوْضِعَ اللَّاتِى اَتَى ذَوَاتُ
Artinya ; Dan sama dengan لَّتِى (untuk mufrod mu’annats) lafadz ذَاتُ menurut lughohnya bani thoyyi’, lafadz ذَوَاتُ itu menempati tempatnya لَّاتِى.
وَمِثْلُ مَاذَا بَعْدَمَااسْتِفهَامِ اَوْمَنْ اِذَالَمْ تُلْغَ فِى الْكَلَامِ
Artinya : Lafadz dza itu menyamai isim maushul ma dan man istifham, ketika tidak diilgho’kan di dalam kalam.
Penjelasan menurut Ustadz Hamdani As Sidani sebagai berikut : Isim Maushul dzaatu menurut sebagian ulama’ thii’in berlaku seperti isim maushul allaati, di lalui mufrod mu’annats. Contoh جَاءَتْ ذَاتُ قَامَتْ, dan isim maushul dzawaatu berlaku seperti isim maushul allaati (Jamak Mu’annats) Contoh جَاءَتْ ذَوَاتُ قُمْنَ. Adalagi isim maushul musytarik berupa lafadz dza, yang berada setelah lafadz ma istifhamiyah atau lafadz man istifhamiyah. Dengan syarat lafadz dza tersebut tidak di mul’ahkan di dalam kalam (ma dan dza itu man dan dza tidak dibuat satu kalimat yang dilalui istifham), contoh ma dza roaituhu, man dza dhorobtahu, apabila dza di mul’ahkan di tengah-tengah kalam maka dza tidak menjadi isim maushul, contoh مَنْ ذَا الَّذِى يُقْرِضُ اللّهَ , artinya : “Siapakah yang mau memberikan pinjaman kepada Allah,”
Perbedaan antara dza yang mul’ah dan dza yang tidak mul;ah dapat diketahui dengan lafadz yang menjadi badal, dari ma istifham atau man istifham. Contoh : مَنْ ذَا ضَرَبْتَ اَزَيْدٌ اَمْ عَمْرٌو , Artinya “ Siapakah yang memukul kamu? Zaid atau Umar?.” lafadz zaidun menjadi badal dari lafadz man istifhamiyah, apabila lafadz zaidun dibaca rofa’. Maka lafadz dza tidak mul’ah, sebab lafadz man menjadi mubtada’, lafadz dza menjadi khobar, lafadz dhorobta menjadi shilahnya lafadz dza, apabila lafadz zaidun dibaca nashob (زَيْدً) maka dza itu mulghoh, sebab lafdz man menjadi maf’ul yang didahulukan dari lafadz dhorobta, apabila tidak ada lafdz yang menjadi badal dari lafadz man, مَااِسْتِفْهَامْ , maka lafadz dza tetap boleh mulghoh, dan boleh tidak mulghoh.