Di dalam kitab alfiyah ibnu malik, terdapat nadhoman yang menjelaskan tentang nun wiqoyah lafadz laisa. sebagaimana berikut wa qobla binnafsi ma’al fi’li tuzim nunu wi qoyatin wa laisi qod nudhim
وَقَبْلَ يَالنَّفْسِ مَعَ الْفِعْلِ التُزِمْ نُونُ وِقَايَةٍ وَلَيْسِى قَدْ نُضِمْ
Artinya : dahulukan isim dhomir yang lebih khusus (dari dhomir yang ada pada 3 babnya lafadz di atas, di dalam dhomir muttashil, dan dahulukan isim dhomir yang kamu kehendaki (yang lebih khusus atau tidak) di dalam dhomir munfashil.
Penjelasan Menurut Ustadz Hamdani As Sidani sebagai berikut :
Apabila ada fi’il yang ditemukan dengan ya’ mutakallim, maka antara fi’il dan ya’ mutakallim harus dipisah dengan nun wiqoyah. Nun wiqoyah adalah nun yang menjaga jangan sampai akhir fi’il itu berharokat kasroh. Contoh : ضَرَبَنِى زَيْدً artinya zaidan memukul saya, tidak boleh dibaca ضَرَبِى زَيدً.Bait yang kedua (wa laisi qod nadhom sampai akhir). Lafadz laisi itu hanya terdapat di dalam nadhom yakni ada fi’il yang ditemukan dengan ya’ mutakallim. Tetapi tidak dipisah dengan nun wiqoyah. Itu karena darurat nadhom seperti perkataan ru’bah :
عَدَدْتُ قَوْمِى كَعَدِيْدِ الطَّيْسِ اِذْذَهَبَ الْقَوْمُ الكِرَامُ لَيسِى
Artinya : “Saya menghitung kaumku seperti menghitung tumpukan pasir, ketika kaum-kaumku yang mulya pergi selain diriku.”
Jadi dari pembahasan nadhoman menurut ustadz hamdani as sidani adalah apabila terdapat nun wiqoyah pada lafadz laisi, hendaknya nun wiqoyah tersebut dibuang karena darurat wazan. Selain itu lafadz laisa sama dengan kalimat huruf dalam jamidnya (sama-sama tidak bisa ditashrif) dan jika tidak darurat wazan diucapkan لَيْسَنِى