Di dalam kitab alfiyah ibnu malik, terdapat nadhoman yang menjelaskan tentang boleh tidaknya mendahulukan khobar dalam sebuah kalimat, sebagaimana nadhoman berikut Wal ashlu fil akhbari an tuakhhoro wa jawwazut taqdima idz la dhororo fam na’hu khina yastawil juz aani ‘urfan wa nukron ‘aadimay bayaani kadza idza mal fi’lu kana khobaron au qoshid isti’malahu munkhashoro
وَالْأَصْلُ فِى الْأَخْبَارِ اَنْ تُؤَخَّرَ وَجَوَّزُوا التَّقْدِيمَ اِذْلَاضَرَرَا
Artinya ; “adapun asal dari beberapa khobar yang diakhirkan dan memperboleh mendahulukan khobar jika tidak darurat”
فَامْنَعْهُ حِيْنَ يَستَوِى الْجُزْآنِ عُرْفًاوَنُكْرًا عَادِمَىْ بَيَانِ
Artinya : “Cegahlah mendahulukan khobar, Apabila mubtada’ dan khobarnya bersama-sama berupa isim ma’rifat, nakiroh beserta tidak ada yang menjelaskan mana mubtada’ dan khobarnya.”
كَذَااِذَامَاالْفِعْلُ كَانَ خَبَرًا اَوْقُصِدْ اِسْتِعْمَالُهُ مُنْحَصَرَا
Artinya : “Begitu pula boleh mendahulukan khobar apabila ada khobarnya berupa fi’il yang merofa’kan dhomir mustatir yang kembali pada mubtada’ atau apabila khobarnya diringkas.”
Penjelasan menurut Ustadz Hamdani As Sidani (wal ashlu dan seterusnya… ) sebagai berikut : Khobar itu menurut tempat asalnya harus bertempat dibelakang mubtada’, sebab dalam segi maknanya khobar itu adalah sifat bagi mubtada’, maka harus di belakang, boleh khobar itu didahulukan apabila tak terdapat kesulitan, berbeda dengan shigot tidak boleh mendahului maushufnya. Sebab sifat itu ikut kepada maushufnya di dalam segala bidang. Seumpama di dalam ma’rifat nakiroh dan I’robnya.
Nadhoman kedua (Famna’hu khina yasnawi dan seterusnya …) sebagai berikut bila terdapat mubtada’ dan khobar sama di dalam ma’rifat atau nakirohnya, dan tidak ada qorinah yang menunjukkan bahwa yang satu harus menjadi mubtada’ dan yang satu menjadi khobar, maka khobar tidak boleh didahulukan, jadi yang dimuka tetap dijadikan mubtada’ dan yang belakang menjadi khobar. Tidak boleh dibolak balik. Contoh زَيْدٌ صَدِيْقُكَ, رَجُلٌ صَالِحٌ , kecuali bila ada qorinah yang menunjukkan اَبُو يُسُفَ اَبُوْ حَنِيْفَةَ, maknanya abu yusuf itu seperti abu hanifah, maka walaupun dibolak balik tetap diketahui yang abu hanifah itulah yang menjadi khobar. Sebab menjadi musyabbah bihi (yang diserupai)
Nadhoman ketiga (kadzaa idza mal fi’lu dan seterusnya …) sebagai berikut bila ada khobar yang berupa fi’il maka khobar harus diakhirkan tidak boleh didahulukan, contoh زَيْدٌ قَامَ, tidak boleh dibalik menjadi قَامَ زَيْدٌ . sebab tarkibnya menjadi fi’il fa’il, bukan tarkib mubtada’ khobar, dan apabila terdapat khobar yang dimaksud untuk meringkas kepada mubtada’. Maka khobar juga harus diakhirkan, اِنَّمَا اَنْتَ مُنْذِرٌ (kamu hanya orang yang menakut-nakuti). Dan contoh : وَمَا مُحَمَّدٌ اِلَّا رَسُوْلٌ (nabi Muhammad itu hanya menjadi utusan) tidak boleh dibalik, khobar didahulukan lalu dibaca, اِنَّمَا مُنْذِرٌ اَنْتَ, وَمَا رَسُوْلٌ أِلَّأمُحَمَّدٌ, Sebab menjadi terbalik murodnya.
Apabila adat khashr (alat meringkas) itu memakai lafadz innama, maka lafadz yang dekat innama itu yang diringkas, dan apabila adat khasr itu memakai lafadz ma dan illa, maka lafadz yang dekat lafadz ma itu yang diringkas.